Ngantukan, Hafal Al-Qur'an
Sebuah
Cerita untuk Kawan
Omong-omong
tentang proses menghafalkan Al-Qur’an selalu menarik perhatian banyak kalangan,
terutama mereka yang ingin menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Kebanyakan dari
mereka ingin mendengar pengalaman lain demi mengambil pelajaran dari orang yang
telah sukses dalam menghafal untuk kemudian diterapkan dalam proses mereka
pribadi menghafalkan Al-Qur’an. Saya sendiri seringkali ditanya seputar
hal-hal yang berhubungan dengan proses menghafal Al-Qur’an mulai dari bagaimana membagi waktu hingga tips-tips rahasia menghafal, dari kebanggaan hingga ujian dalam menghafal, dan topik-topik lain semacamnya. Tulisan ini pun sejatinya terangkai sebagai pemenuhan atas permintaan rekan saya yang menginginkan saya untuk menulis kisah perjuangan saya menghafalkan Al-Qur’an.
hal-hal yang berhubungan dengan proses menghafal Al-Qur’an mulai dari bagaimana membagi waktu hingga tips-tips rahasia menghafal, dari kebanggaan hingga ujian dalam menghafal, dan topik-topik lain semacamnya. Tulisan ini pun sejatinya terangkai sebagai pemenuhan atas permintaan rekan saya yang menginginkan saya untuk menulis kisah perjuangan saya menghafalkan Al-Qur’an.
Sampai
sekarang terkadang saya sendiri masih terheran-heran tentang bagaimana bisa
saya menyelesaikan hafalan hingga 30 juz ini. Sejujurnya saya dulu menghafalkan
Al-Qur’an bukan karena keinginan saya sendiri melainkan hanya karena mengikuti
arus lingkungan. Itulah kenapa saya sering mengatakan bahwa saya menghafalkan Al-Qur’an
dalam keadaan tidak sadar. Namun meskipun begitu, ini tidak berarti bahwa tidak
ada perjuangan yang saya berikan dalam menyelesaikannya. Tentu saja ada banyak
hal yang harus saya berikan dalam menyelesaikan proses panjang itu. Baiklah,
saya akan mulai menceritakan sedikit tentang detailnya.
Menghafalkan
Al-Qur’an bagi saya seperti memberikan rumah bagi Al-Qur’an dalam diri kita,
bukan untuk kepentingan Al-Qur’an, melainkan untuk kepentingan kita sendiri. Dalam
hal ini saya selalu mengingat satu hal yang dengan tak pernah lelah diucapkan
setiap saat oleh pembimbing saya. Beliau selalu berkata “Al-Qur’an itu adalah barang suci, sebagaimana barang suci ia tak akan
pernah mau diberikan tempat yang tidak suci. Tempat Al-Qur’an adalah di dalam
hati, maka dari itu jagalah hatimu agar tetap suci”. Pesan inilah yang
selalu saya ingat bahkan hingga saat ini, dan memang benar semua yang dikatakan
oleh guru saya ini. Bersihnya hati sangatlah penting dalam proses menghafalkan Al-Qur’an
dan menjaganya. Bukan saya berusaha mengklaim bahwa karena saya berhati
bersihlah saya berhasil menghafalkan Al-Qur’an, melainkan pentingnya berusaha
untuk selalu menjaga hati kita bagaimanapun caranya itu, meski memang sifat
dasar manusia adalah untuk berbuat kesalahan.
Contoh
sederhana dalam hal ini adalah permasalahan yang seringkali dihadapi oleh anak
muda, yakni hubungan dengan lawan jenis. Sebagai seorang remaja, wajarlah
kiranya untuk memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Tentu tidak ada
kesalahan jika kita pun juga merasakan ketertarikan itu, namun yang perlu
digarisbawahi adalah bagaimana kita menyikapi perasaan tersebut. Dulu ketika
masih marak teman-teman saya naksir-naksiran dan pacaran dengan teman lelaki,
saya berusaha untuk tak ikut-ikutan dengan mereka. Bukan saya sok suci atau
apa, tapi satu pesan guru kami itu lah yang selalu membekas dalam hati. Hingga
saya akhirnya menyelesaikan hafalan, saya masih terhitung sukses dalam menjaga
pergaulan dengan teman lelaki.
Namun
keteguhan hati saya pun suatu kali pernah goyah. Suatu kali ketika saya sudah
menyelesaikan proses menghafal dan tidak lagi menetap di pesantren melainkan
tinggal di ma’had kampus, saya dihadapkan pada sebuah keadaan yang membuat diri
saya berubah jauh. Sejak awal menjadi mahasiswa, saya pernah tertarik kepada
salah seorang teman laki-laki yang juga akrab dengan saya. Di awal-awal masa
perkuliahan saya memang tak pernah menggubris perasaan saya itu dan hanya
menganggapnya sebagai angin lalu. Masing-masing dari kami saling menjaga satu
sama lain sebagai sesama teman. Namun suatu kali, entah apa yang terjadi yang
mempengaruhi kami berdua, dia menyatakan perasaannya kepada saya yang selama
ini dia sembunyikan. Saya yang juga selama ini berusaha tak menggubris perasaan
saya, akhirnya tergoda untuk memberikan respon sebagaimana yang dia inginkan.
Singkat cerita, kami berhubungan semakin dekat. Selama berhubungan dekat itu,
kami selalu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh
teman kami yang sedang berpacaran. Kami hanya berhubungan melalui telepon
karena kami menganggap itu adalah cara yang paling aman dan tidak akan
memberikan dampak buruk kepada Al-Qur’an saya.
Beberapa
bulan berjalan, saya mulai merasa ada yang hilang dalam diri saya. Seringkali
saya merasa tidak tenang, seolah saya telah melakukan kesalahan besar yang
selalu menghantui saya, yang kemudian saya tahu bahwa perasaan itu ada karena
hubungan dekat saya dengan teman lelaki itu menyebabkan keberadaan Al-Qur’an
tergusur porsinya dalam diri saya. Saat itu saya masih ngotot mengatakan kepada
diri sendiri bahwa semuanya dapat diperbaiki tanpa mengakhiri hubungan dengan
teman lelaki saya itu. Semua itu terjadi entah karena saya yang tak bisa
mengakhiri hubungan dengannya atau saya tak kuasa untuk mengatakan padanya
bahwa saya ingin mengakhiri. Entahlah. Saya tak berani mengambil keputusan
apapun saat itu, yang berimbas pada keadaan Al-Qur’an saya yang semakin lama
semakin tak terurus. Hingga suatu saat satu masalah terjadi yang akhirnya
hubungan saya dengan teman lelaki itu selesai seketika itu juga.
Baru
setelah hubungan kami berakhir itulah saya menyadari betapa Al-Qur’an saya yang
dulu saya kira hanya “sedikit bermasalah” ternyata sudah berantakan hingga hampir
berada pada tahap “hancur”. Saat itu saya merasakan penyesalan yang teramat
sangat dan malu tiada tara terhadap diri saya sendiri atas tingkah saya yang
begitu naif dalam memandang dampak hubungan dengan teman lelaki itu terhadap Al-Qur’an
yang sebelumnya telah dengan susah payah saya perjuangkan. Setelah berakhirnya
hubungan itu, saya berusaha kembali mendekatkan diri kepada Al-Qur’an yang
selama beberapa waktu sebelumnya telah begitu saja saya acuhkan. Dan
Alhamdulillah, dengan izin Allah Al-Qur’an saya sedikit demi sedikit menjadi
lebih baik dan selamat dari level “hancur” yang sudah di depan mata. Sejak saat
itu saya bertekad untuk tak lagi melakukan kebodohan fatal yang pernah saya
lakukan sebelumnya.
Selain
menjaga hati tetap bersih ada beberapa hal yang juga menurut saya memiliki
dampak signifikan terhadap proses menghafal dan menjaga Al-Qur’an. Bebrapa di
antara hal-hal tersebut adalah istiqomah, manut, dan tekun. Saya diantara
teman-teman seperjuangan di pesantren dulu tidak termasuk santri yang cepat
dalam proses menghafal. Saya dulu bahkan sering tertinggal di antara yang lain.
Ketika semua teman saya sudah hafal hingga akhir juz 4, saya bahkan belum
selesai meghafalkan perempat ketiga dari juz 2. Karena hal ini, saya seringkali
diejek dengan sebutan ulat, lelet, atau semacamnya. Salah satu kelemahan saya
yang tidak dimiliki teman yang lain adalah saya mudah sekali tertidur di waktu
kegiatan pesantren, mengaji, atau bahkan saat sholat. Kelemahan ini lah yang
akhirnya membuat saya tak pernah absen dari sesi “hukuman” setiap harinya dan
mendapat gelar cantik yaitu “Ngantukan” sebagai embel-embel di belakang nama
saya dari selama saya nyantri, sampai kini saya sudah menjadi mahasiswa.
Bagaimanapun
saya berusaha untuk tidak mengeluh atas apapun yang terjadi kepada saya, dan
selalu manut terhadap apapun yang diperintahkan oleh pembimbing saya. Banyaknya
kelemahan saya itu akhirnya berusaha saya tutupi dengan selalu serius di setiap
waktu mengaji saya. Sesedikit apapun yang saya dapat dalam satu waktu ngaji,
saya selalu berusaha untuk melakukannya dengan sepenuh hati dan pikiran.
Sehingga berapapun sedikitnya yang saya deres saat itu, akan melekat dan
membuat saya selalu mengingat proses berharga itu. Hal ini memudahkan saya
dalam hal melancarkan hafalan dan dalam hal efektifitas waktu. Setiap kali
mengaji saya berusaha sebisa mungkin untuk selalu mengingat
kesalahan-kesalahan, persamaan bacaan, dan letak bacaan dengan tujuan
menghindari kesalahan serupa terjadi ketika saya membaca bagian tersebut di
lain waktu.
Selama
masa menghafal, saya tak pernah malu untuk membawa Al-Qur’an ke sekolah.
Sekolah saya saat itu bukanlah sekolah yang berada di bawah naungan
pesantren, namun sekolah negeri biasa yang mana siswa berkerudung disana
jumlahnya tak habis dalam hitungan jari, dan banyak yang bahkan beragama selain
Islam. Tujuan saya membawa Al-Qur’an ke sekolah, selain karena perintah dari
pembimbing, adalah agar saya dapat mengisi sedikit waktu luang selama di
sekolah untuk nderes hafalan saya. Perintah semacam ini diberikan pembimbing
kepada saya dan semua teman yang sama tengah menghafalkan seperti saya. Namun,
tak banyak diantara mereka yang mengabaikan perintah tersebut dan menganggapnya
hanya sebagai angin lalu lantaran mereka merasa malu. Namun saya tak pernah
malu untuk mengaji di sekolah.
Semua
hal ini terbukti benar terhadap hasil yang telah saya capai. Saya yang dulu
selalu menjadi kuda hitam di antara teman-teman saya, pada akhirnya berhasil melampaui
mereka. Pada akhirnya dengan izin Allah, saya dapat menjawab ejekan teman-teman
saya dengan satu prestasi yang saya sendiri tak pernah menyangka sebelumnya.
Saya berhasil menyelesaikan hafalan saya di saat teman saya yang dulu selalu
berada di atas saya masih dalam proses panjangnya. Alhamdulillah, meskipun
harus dengan perjuangan yang berlipat-lipat, saya berhasil membuktikan bahwa
saya bukanlah “ulat” yang walaupun gelar “Ngantukan” itu masih abadi bertengger
sekan stempel alam di kening saya. Tapi satu hal yang pasti, tak ada hasil yang
mengkhianati prosesnya. Menghafal Al-Qur’an adalah suatu hal yang sangat mulia.
Sekali kita berniat teguh dan terus berusaha maka akan selalu ada jalan untuk
menyelesaikan. Bahkan saya yang dulu tak berniat pun akhirnya dapat mencintai
kini di akhirnya. Jadi jangan pernah berputus asa selama proses panjang
menghafal Al-Qur’an. Selama kita tak bosan mencoba, maka kita akan menemukan penyelesaiannya.
Begitu juga dalam hal ini, selama kita tak bosan mengaji, maka pada akhirnya
kita akan dapat menuntaskan perjuangan dan akan berbuah manis. InsyaAllah.
Teruslah bercinta dengan Al-Qur’an, maka akan selalu kau rasakan kenikmatan
tiada henti. J
Asri
Furoidah. Selasa, 3 Februari 2015. 15.24 WIB
terimakasih ka, menginspirasi sekali :)
BalasHapusThanks ya kak., atas postingan.nya hehe jd pembelajaran dan nasehat yg insyaallah brmnfaat untuk saya yg jg ngantuk.an di pesantren.. Hehe
BalasHapusSubhanallah..
BalasHapusMemotivasiku bner ini..
Syukron.
Maa syaa Allah, another great experience of hafidzah Qur'an. Barakallaah
BalasHapusMasyaa Allaah! Menginspirasi.. Izin share ukhti. Syukron :)
BalasHapusMasya Allah, motivasi buat diri saya untuk lanjut hafalan ^^ syukron ukhty
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussubhanallah makasih kk motivasinya yaaa.....
BalasHapussubhanallah, syukron katsiron ka, motivasinya membuatku semangat lagi :)
BalasHapusTerima kasih kak, insyaallah proses menghafal Qur'an itu akan menjadi perisai bagi kita dalam menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang Allah inginkan.amiin☺️
BalasHapusAminnnn
BalasHapusalhamdulillah... trimakasih ukhty... semangat juga buat yang lagi hafalan
BalasHapusalhamdulillah... trimakasih ukhty... semangat juga buat yang lagi hafalan
BalasHapusAllah
BalasHapus